MAKALAH
FIQIH
“IJARAH, ARIYAH, RAHN, HIWALAH DAN JI’ALAH”
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr. wb.
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkah dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah fiqih ini dengan topik “Ijarah,
Ariyah, Rahn, Hiwalah dan Ji’alah”. Makalah ini dibuat sehubungan dengan
tugas yang diberikan dosen kami bpk. SASUKE. untuk memenuhi nilai mata
kuliah fiqih.
Dengan diselesaikannya tugas makalah ini,
kami harapkan dapat memenuhi syarat penilaian tugas dan berguna untuk para pembacanya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan pembuatan
makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para
pembaca. Amin
Wassalamualaikum
wr.wb
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………
Kata
Pengantar…………………………………………………………………
Daftar
Isi………………………………………………………………………..
BAB
I. Pendahuluan
I.1. Latar
Belakang……………………………………………………..
I.2. Rumusan
Masalah………………………………………………….
I.3. Tujuan………………………………………………………………
BAB
II. Pembahasan ………………………………………………………..
BAB
III. Kesimpulan……………………………………………. ……………..
Daftar Pustaka
……………………………………………. ……………………
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini
pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita
sadari pula kita melakukan yang namanya ijarah, ariyah, rahn, hiwalah dan
ji’alah.
Latar belakang disusunnya makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pengajar. Makalah ini membahas
tentang beberapa masalah bidang muamalah yaitu ijarah, ariyah, rahn, hiwalah
dan ji’alah.
I.2.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dibuatnya makalah ini adalah:
·
Apa pengertian ijarah, dasar hukum
ijarah, rukun ijarah, syarat, berakhirnya serta macam-macam ijarah?
·
Apa pengertian ariyah, dasar hukum
ariyah, rukun ariyah, syarat, berakhirnya serta macam-macam ariyah?
·
Apa pengertian rahn, dasar hukum rahn,
rukun rahn, syarat, berakhirnya serta macam-macam rahn?
·
Apa pengertian hiwalah, dasar hukum
hiwalah, rukun hiwalah, syarat, berakhirnya serta macam-macam hiwalah?
·
Apa pengertian ji’alah, dasar hukum
ji’alah, rukun ji’alah, syarat, berakhirnya serta macam-macam ji’alah?
I.3. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah:
·
Untuk mengetahui pengertian ijarah,
dasar hukum ijarah, rukun ijarah, syarat, berakhirnya serta macam-macam ijarah
·
Untuk mengetahui pengertian ariyah,
dasar hukum ariyah, rukun ariyah, syarat, berakhirnya serta macam-macam ariyah
·
Untuk mengetahui pengertian rahn, dasar
hukum rahn, rukun rahn, syarat, berakhirnya serta macam-macam rahn
·
Untuk mengetahui hiwalah, dasar hukum
hiwalah, rukun hiwalah, syarat, berakhirnya serta macam-macam hiwalah
·
Untuk mengetahui pengertian ji’alah,
dasar hukum ji’alah, rukun ji’alah, syarat, berakhirnya serta macam-macam
ji’alah
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1.
IJARAH
II.1.1. Pengertian
Ijarah
Menurut
bahasa berarti balasan, tebusan atau pahala. Menurut istilah berarti
melakukan aqad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan
jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan
syarat-syarat tertentu.
Menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
II.1.2.
Dasar Hukum Ijarah
- Al- Qur’an
“Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
- Al-Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang
kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah,
at-Thabrani dan Tirmidzi)
II.1.3.
Rukun Ijarah
a)
Mu’jar (orang/barang
yang disewa)
b)
Musta’jir (orang yang menyewa)
c)
Sighat (ijab dan qabul)
d)
Upah dan manfaat
II.1.4.
Syarat Ijarah
a) Kedua orang
yang berakad harus baligh dan berakal
b) Menyatakan
kerelaannya untuk melakukan akad ijarah
c) Manfaat yang
menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna
d) Objek ijarah
boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
e) Objek ijarah
sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan
f) Yang disewakan
itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g) Upah/sewa dalam
akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
II.1.5.
Akhir
Ijarah
a)
Menurut ulama
hanafiayah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad,
sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut
jumhur ulama, ijarah tidak batal tetapi diwariskan
b)
Pembatalan akad
c)
Terjadi
kerusakan pada barang yang disewa, akan tetapi menurut ulama lainnya kerusakan
pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti
selagi masih bisa diganti.
d)
Habis waktu,
kecuali ada uzur.
II.1.6. Macam-Macam Ijarah
Berdasarkan obyeknya,
Ijarah terdiri dari:
a) Ijarah
dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb
b)
Ijarah dimana obyeknya adalah
manfaat dari tenaga seorang seperti jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa
guru/dosen,dll. Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah.
Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat
sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.
II.2. ARIYAH
II.2.1.
Pengertian Ariyah
Menurut bahasa berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks
tradisi pinjam meminjam.
Menurut
istilah berarti
Kebolehan
memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.
Menurut mazhab Hambali ariyah adalah
barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik
manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak
dengan tanpa imbalan ongkos.
II.2.2.
Dasar Hukum Ariyah
a.
Al-Qur’an
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Q.S
Al-Maidah: 2)
Artinya:
“orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
(Q.S
Al-Ma’un 5-7)
b.
Al-hadist
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam
perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau:
Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab:
Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.
Rasullah SAW bersabda:
والله فىي عون العبد ما كا ن العبد
في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong
saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
والعا رية
مؤداة
“Ariyah (barang
pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan
at-Turmudzi)
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد
إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang
dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang
meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”.
(Hadits riwayat Al-Bukhari).
II.2.3.
Rukun Ariyah
a)
Mu’ir
(peminjam)
b)
Musta’ir
(yang meminjamkan)
c)
Mu’ar
(barang yang dipinjam)
d)
Shigat
(ijab dan
qabul)
II.2.4. Syarat Ariyah
1.
Mu’ir berakal sehat
Orang
gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama
Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan
bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan
sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.
2.
Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah
adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang
adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3.
Barang (mu’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak
dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa
ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan
tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan
lain-lain.
II.2.5. Berakhirnya Akad Ariyah
a. Pemberi pinjaman meminta agar
pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah mengikat,
sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
b. Peminjam mengembalikan barang yang
dia pinjam.
c. Salah satu pihak pelaku akad gila
atau tidak sadarkan diri.
d. Kematian salah satu pihak pelaku
akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
e. Al-
Hajr (pelarangan
untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karena kedunguan (safah).
f. Al-
Hajr yang disebabkan kebangkrutan
pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh
mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk
kepentingan para pemberi utangnya.
II.2.6.
Macam-Macam Ariyah
a) Ariyah
muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan
batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan
jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan
pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga
untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa
tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat
karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang
lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka
pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi
izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan
keinginannya.
b)
Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam
barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi
kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan
tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman,
pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang
akan dipinjamkan.
II.3. RAHN
II.3.1.
Pengertian Rahn
Menurut
bahasa berarti tertahan. Menurut istilah berarti memperlakukan harta sebagai
jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala
yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.
II.3.2.
Dasar Hukum Rahn
Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:
a.
Al qur’an surat Al Baqarah ayat: 283
Artinya: jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
tuhannya.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan
Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi
kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
yahudi”.
c. Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al
Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada
surat Al Baqoroh ayat 283.
II.3.3. Rukun Rahn
a)
Orang
yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
b)
Orang
yang menerima barang gadai (murtahin)
c)
Barang
yang dijadikan jaminan(borg/marhun).
d)
Akad(ijab
dan qobul)
e)
Adanya
hutang yang dimiliki oleh penggadai.
II.3.4.
Syarat Rahn
a)
Sehat
fikirannya
c)
Barang
yang digadaikan telah ada di waktu gadai
d)
Barang
gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.
II.3.5.
Berakhirnya Akad Rahn
a)
Barang
telah diserahkan kembali pada pemiliknya
b)
Rahin(penggadai)membayar
hutangnya
c)
Dijual
secara pakasa
Maksudnya, yaitu apabila hutang telah jatuh tempo
danrahin tidak mampu melunasi maka atas permintaan hakim,rahin bisa menjual
borg(barang gadaian).apabila rahin tidak mau menjual hartanya maka hakim yang
menjualnya untuk melunasi utangnya(rahin).dengan telah di lunasinya hutang
tersebut,maka akad gadai telah berakhir.
d) Pembatalan hutang dengan cara apapun sekalipun dengan pemindahan oleh
murtahin
e) Pembatalan oleh murtahin,meskipun
tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
f) Rusaknya barang gadaian oleh
tindakan/penggunaan murtahin.
g) Memanfatkan barang gadai dengan
penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak rahin atau murtahin
h) Meninggalnya rahin (menurut Malikiyah) atau murtahin (menurut Hanafiyah). sedangkan syafi`iyah dan
Hambali,menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn
II.3.6. Macam-Macam Rahn
a) Rahn
‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi
gadai. Maksudnya bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi
memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan
hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn
‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada
Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan
olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah
kepemilikan atas mobil dimaksud.
Konsep
ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara
Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam
konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda
tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan
masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
b) Rahn
Hiyazi
Bentuk
Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat
maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut,
barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika
dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn
Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai
jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas,
maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.
II.4. HIWALAH
II.4.1.
Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau
pengoperan. Menurut istilah berarti pengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada
yang lain yang punya tanggung jawab pula. Menurut
Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban
orang lain.
II.4.2.
Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan
Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya)
: ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah
seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah
diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan
Baihaqi)
II.4.3.
Rukun Hiwalah
a) Pihak pertama (muhil) yaitu orang
yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
b) Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang
dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
c) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu
orang yang menerima hiwalah
d) Ada piutang muhil kepada muhal
e) Ada piutang muhal
‘alaih kepada muhil
f) Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,
“Akuhiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan”
dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
II.4.4.
Syarat Hiwalah
a) Ada kerelaan muhil (orag yang
berhutang dan ingin memindahkan hutang)
b) Ada persetujuan dari
muhal (orang yang member hutang)
c) Hutang yang akan dialihkan
keadaannya masih tetap dalam pengakuan
d) Adanya kesamaan hutang muhil dan
muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya,
waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
II.4.5.
Berakhirnya Akad Hiwalah
a) Fasakh. apabila akad hiwalah telah
fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil,
pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana
akad tercapai.
b) Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat
kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam
keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil.
Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah,
syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah
berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada
muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal
muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar
(penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
c) Penyerahan harta oleh muhal alaih
kepada muhal.
d) Meninggalnya muhal atau muhal alaih
mewarisi harta hiwalah.
e) Muhal menghibahkan hartanya kepada
muhal alaih dan ia menerimanya.
f) Muhal menyerahkan hartanya kepada
muhal alaih dan dia menerimanaya
g) Muhal membebaskan muhal alai
II.4.6.
Macam-Macam Hiwalah
a. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang
yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan
B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah terjadi jika
Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir
punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan
kesepakatan para ulama.
c. Hawalah al haq adalah pemindahan hak
atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila
pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut
dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka
perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini
adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan
haknya
d. Hawalah al dain yaitu lawan dari
lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang
kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih
mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang
yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar
hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.
II.5. JI’ALAH
II.5.1.
Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa berarti mengupah.
Menurut istilah berarti sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga
kuat dapat diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan
oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya
yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai
memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah
bukan terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat
menguntungkan seseorang.
II.5.2.
Dasar Hukum Ji’alah
Dalam Al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan
memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang
hilang. Hal itu di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
Artinya: “Penyeru-penyeru
itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".
II.5.3.
Rukun Ji’alah
a.
Lafal: Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan
bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing
orang yang menyuruh (Pemilik barang) maka baginya tidak berhak memperoleh
imbalan jika barang itu ditemukan.
b. Orang yang
menjanjikan memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang
lain.
c. Pekerjaan:
Mencari barang yang hilang.
d. Upah harus
jelas: Telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan
pekerjaan (menemukan barang).
II.5.4.
Syarat Ji’alah
a. Pihak-pihak yang berji'alah wajib
memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh,
dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan
oleh orang gila atau anak kecil.
b. upah (ja’il) yang dijanjikan harus
disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah
batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang
menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah
yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
c. Aktivitas yang akan diberi
kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan
secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan
jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset
yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
d. Kompensasi (materi) yang diberikan
harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus
halal.
II.5.5.
Berakhirnya Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan
ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun,\ sebagaimana
akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan
secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya
kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika
akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan
upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak
(orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang
yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang
bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah
bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka
yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
BAB
III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Kegiatan muamalah seperti ijarah, ariyah, rahn, hiwalah dan ji’alah.
adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas dari kehidupan kita sehari-hari. Hukum
asalnya terikat dengan hukum syara. Oleh karena itu sebagai seorang muslim,
kita seharusnya mengetahui dalil-dalil syara dan ketentuan-ketentuan mengenai
kegiatan tersebut agar kita terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan dibenci
Allah swt.
III.2. Saran
Dari
uraian di atas maka penulis menyadari bahwa banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, untuk itu pemakalah mohon kritikan dan saran yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rifai, Moh. 1978. Fiqih
Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Terimakasih min artkel ini sungguh sanangat bermanfaat buat saya. Semoga allah selalu memberikan mu kemudahan dalam segala hal. Amin 😊
BalasHapusterima kasih.
BalasHapusTeruskan min
BalasHapus