BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak
dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja
sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja
dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan
kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman
seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak
rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual
tetapi juga program aksi.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain
diperintahkan untuk beribadah Allah memerintahkan untuk bekerja (berusaha).
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas tentang
pekerjaan yang baik dan bagaimana kita memperoleh rezeki dengan cara yang
diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas, karena semua orang
dunia ini pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini pasti manusia
berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk
mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua yang
kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan Allah SWT
semata. Sebagai umatnya diwajibkan mengembangkannya dengan baik dan hati-hati.
Untuk itu Hadist tentang Etos Kerja ini sangat diperlukan
demi kelangsungan umat sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas maka pemakalah merumskan masalah yang akan di bahas dalam
makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.
Redaksi Hadist mengenai Etos
Kerja Seorang Muslim?
a. Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan dalam Islam?
b. Ciri –ciri etos kerja dalam Islam?
2.
Larangan meminta minta.
3.
Mukmin yang kuat dapat pujian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etos Kerja
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu
akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi,
baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap,
kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja
dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos
dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang
diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper
mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik
buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk
menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus
memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil
dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan
(hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari
kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad :
22)
1. Aspek-aspek pekerjaan dalam islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
a. Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan
kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil
keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini
diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ
من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو
منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a.,
katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang
dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang
di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan
kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian
itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam
itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang,
baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar
biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit
bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad,
mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana
mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia
tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika
mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya
sendiri tidak meminta tolong lain.
b. Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang
muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً
أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله
ابن عمرو بن العاص.
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang
dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus
diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang
lebih luas.
c. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan
seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan
dalam hadist berikut :
عن أنس قال النبي صلى الله عليه
وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا
كان له به صدقة “
Dari
Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam
tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan
darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”.(HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang
bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau
tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas
agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
d. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan
itu sendiri
Islam sangat menghargai
pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan
pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk
bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال :
” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا تقوم حتى
يغرسها فليغرسها ”
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau
bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit
tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “
(HR Bukhari dan Muslim).
2. Ciri-ciri etos kerja dalam islam
Dan dalam batas-batas tertentu,
ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak
keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara
lain :
a. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan
yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi
nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok.
b. Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
c. Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan
dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang
didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni
mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap
pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi
sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala
sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi
serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang
Allah ridhai.
d. Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan
dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa
ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada
Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram;
saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
e. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya
mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan
dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara
realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha
kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan
waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut
diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
f. Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja
tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau
dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah
merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini
adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari
dasar pentingnya sikapamanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup
seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta,
atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial
manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang
sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan
yang semestinya dipenuhi.
g. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam
kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan
sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu
sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan
ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah
dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan
solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya
yang konsisten/istiqamah.
h. Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah
terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam
penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan
aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat
besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal
sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
i. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika
orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang
dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya
untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya,
serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf
(kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan
untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang
dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan
sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang
dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan
berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak
bermanfaat.[4]
B.
Larangan meminta minta
Di antara sifat buruk yang dijauhi oleh
syara’ adalah meminta-minta kepada manusia, yang dimaksud meminta-minta adalah
inisiatif seseorang untuk meminta-minta kepada orang lain harta dan segala
kebutuhannya pada mereka tanpa ada kebutuhan dan tuntutan yang mendesak, sebab
meminta-minta mengandung kehinaan kepada selain Allah Azza Wa Jalla.
Allah swt berfirman:
٢٧٣. لِلْفُقَرَاء
الَّذِينَ أُحصِرُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْباً فِي
الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم
بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ
فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
|
273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. |
Ibnu Katsir berkomentar ketika
menafsirkan ayat di atas: Allah berkehendak agar mereka tidak memelas dalam
meminta-minta dan mereka tidak memaksa manusia dengan sesuatu yang mereka tidak
butuhkan, sebab orang yang meminta-minta padahal dia memiliki sesuatu yang bisa
mencegahnya dari meminta-minta maka sungguh dia termasuk orang yang
meminta-minta kepada manusia secara memaksa.1
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw
bersabda: Bukanlah orang yang miskin orang yang berkeliling meminta-minta,
yaitu orang yang berkeliling kepada orang lain untuk meminta-minta lalu dia
ditolak satu suap atau dua suap atau satu biji korma dan dua biji kurma. Lalu
mereka bertanya: Siapakh orang yang miskin tersebut wahai Rasulullah?. Beliau
bersabda: Orang yang tidak memilki apa yang mencukupinya dan dia tidak pandai
mencar lalu orang-orang bersedeqah kepadanya serta tidak meminta kepada orang
lain sesuatu apa pun”.2
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang meminta-minta harta orang lain untuk dikumpulknnya maka
sungguh dia telah meminta barak api jahannam, maka hendaklah dia mempersedikitnya
atau memperbanykanya”.3
Abu Hamid Al-Gozali berkata: Pada
dasarnya meminta-minta itu adalah haram, namun dibolehkan karena adanya
tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang mengarah kepada tuntutan, sebab
meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan di dalamnya terkandung makna
remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamabaNya dan itulah
keluhan yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung makna bahwa
peminta-minta menghinakan dirinya kepada selain Allah Ta’ala dan biasanya dia tidak
akan terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia diberikan
oleh orang lain karena factor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang
yang mengambilnya”.4
Seorang
penyair berkata:
Orang yang meminta kepada manusia maka mereka akan
menolaknya Dan orang yang meminta hanya kepada Allah tidak akan pernah kecewa Seorang penyair yang lain berkata: Janganlah
meminta kebutuhanmu kepada Anak Adam Pintalah kepada Zat yang pintuNya tak
pernah tertutup.
Dibawah ini Dalil dalil yang melarang untuk
meminta minta
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَزَالُ
الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ
مُزْعَةُ لَحْمٍ و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَخِي الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ مُزْعَةُ
Tidaklah salah seorang dari
kalian yg terus meminta-minta, kecuali kelak di hari kiamat ia akan menemui
Allah sementara di wajahnya tak ada sepotong daging pun. Dan telah menceritakan
kepadaku Amru An Naqid telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Ma'mar dari saudaranya Az Zuhri dgn isnad ini, namun ia
tak menyebutkan muz'ah (sepotong). [HR. Muslim No.1724].
Hadits Muslim 1725
حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يَقُولُا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ
مُزْعَةُ لَحْمٍ
Tidaklah seseorang terus
meminta-minta hingga kelak pada hari kiamat ia menjumpai Allah sementara di
wajahnya tak ada sekerat daging pun. [HR. Muslim No.1725].
Hadits Muslim 1726
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى
قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي
زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا
يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Siapa yg meminta-minta kepada orang banyak untuk
menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya,
apakah yg diterimanya sedikit atau banyak. [HR. Muslim No.1726].
Hadits Muslim 1727
حَدَّثَنِي هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَحْوَصِ عَنْ بَيَانٍ أَبِي بِشْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَتَصَدَّقَ بِهِ
وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنْ النَّاسِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا
أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنْ الْيَدِ
السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ أَبِي
حَازِمٍ قَالَ أَتَيْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ فَيَحْطِبَ
عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهُ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ بَيَانٍ
Berangkatnya salah seorang
diantara kalian pagi-pagi kemudian pulang dgn memikul kayu bakar di punggungmu,
lalu kamu bersedekah dgn itu tanpa meminta-minta kepada orang banyak, itu lebih
baik bagimu daripada meminta-minta kepada orang banyak, baik ia diberi atau
tidak. Sesungguhnya tangan yg memberi itu lebih mulia daripada tangan yg
menerima. Dan dahulukanlah memberi kepada orang yg menjadi tanggunganmu. Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa'id dari Isma'il telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim ia
berkata, kami mendatangi Abu Hurairah maka ia pun berkata;Nabi pernah bersabda:Seorang
dari kalian pergi, lalu ia kembali dgn membawa kayu bakar di atas punggungnya,
lalu ia menjualnya. Kemudian ia pun menyebutkan hadits yg serupa dgn hadits
Bayan. [HR. Muslim No.1727].
C. Mukmin Kang Kuat Lebih Dicintai Alla
Mukmin yang kuat lebih baik
da lebih dicintai oleh Allah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ
خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ
خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا
تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ،
فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,
beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang
lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan
apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala
urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau
tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian,
tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan
Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya
akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.
Hadits ini
shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah
(no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627);
at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim
dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam
Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr
(no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani
rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât
(no. 5228).
SYARAH HADITS
A. Sabda nabi saw
اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى
اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan
Hadits ini
mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki arti luas. Di
antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allâh Azza wa Jalla .
Sifat ini terkait dengan orang-orang yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa mahabbah Allâh tergantung keinginan dan
kehendak-Nya. Kecintaan Allâh kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti
kecintaan-Nya kepada Mukmin yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada
Mukmin yang lemah.
Hadits ini juga
mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan , dan perbuatan
sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman itu terdiri dari tujuh
puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan
yang paling rendah yaitu menyingkirkan suatu yang mengganggu dari jalan. Dan
malu itu merupakan cabang dari iman.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْإِيـْمَـانُ بِـضْـعٌ وَسَبْـعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَـاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَـةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ
Iman memiliki
lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi
adalah perkataan LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.[1]
Cabang-cabang yang kembalinya kepada
amalan-amalan bathin dan zhahir ini, semuanya termasuk bagian dari iman.
Barangsiapa yang mengerjakannya dengan benar, memperbaiki dirinya dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, juga memperbaiki orang lain dengan saling
menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, maka dia adalah Mukmin yang kuat.
Dalam diri orang seperti ini terdapat tingkatan iman yang paling tinggi. Siapa
yang belum sampai pada tingkatan ini, maka dia adalah Mukmin yang lemah.
Hadits ini sebagai dalil para Ulama salaf
bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang, sesuai dengan kadar ilmu dan
amalan-amalannya.
Setelah menjelaskan bahwa Mukmin yang kuat
lebih baik daripada Mukmin yang lemah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir Mukmin yang lemah imannya merasa tercela, karena itulah beliau
melanjutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
Dan pada keduanya
ada kebaikan
Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Pada keduanya ada kebaikan." ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih mengutamakan seseorang atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia menyebutkan sisi pengutamaannya serta berusaha menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-mafdhûl (yang diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.
Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Pada keduanya ada kebaikan." ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih mengutamakan seseorang atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia menyebutkan sisi pengutamaannya serta berusaha menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-mafdhûl (yang diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa kaum Mukmin itu berbeda-beda dalam kebaikan,
kecintaannya kepada Allâh dan berbeda-beda derajatnya. Seperti dalam firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan [al-Ahqâf/46:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا
مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka
ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar. [Fâthir/35:32]
Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla membagi
orang Mukmin menjadi tiga bagian:Pertama, as-Sâbiqûna bil
khairât (Golongan yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan). Mereka ini
melakukan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh,
menyempurnakan amalan-amalan yang dianjurkan. Mereka disebut memiliki sifat
yang sempurna.Kedua, al-Muqtashidûn (Golongan
pertengahan). Yaitu mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang wajib dan
meninggalkan perkara-perkara yang haram. Ketiga,
az-Zhâlimûna li anfusihim (Golongan yang menzhalimi diri sendiri). Yaitu mereka
yang mencampur-adukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang keji.
B. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
B. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ
Bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang
bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala
urusanmu)
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini mengandung arti luas dan penuh manfaat, mencakup kebahagiaan dunia
dan akhirat. Perkara-perkara yang bermanfaat itu ada dua macam yaitu perkara
yang bermanfaat dalam agama dan perkara bermanfaat dalam hal keduniaan. Seorang
hamba membutuhkan kebutuhan dunyawiyyah (keduniaan) sebagaimana dia membutuhkan
kebutuhan diniyyah (keagamaan). Kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesannya
sangat ditentukan oleh semangat dan kesungguhannya dalam melakukan segala yang
bermanfaat dalam urusan agama dan dunianya, serta keriusannya dalam memohon
pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika semua unsur ini sudah
terpenuhi, maka itu adalah kesempurnaan baginya dan sebagai tanda
kesuksesannya. Namun, ketika dia meninggalkan salah satu dari tiga perkara ini
(bersemangat, bersungguh-sungguh, dan meminta pertolongan Allâh), maka dia akan
kehilangan kebaikan seukuran dengan perkara yang ditinggalkannya.
Orang yang tidak bersemangat dalam meraih
dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, bahkan bermalas-malasan, maka dia tidak
akan mendapatkan apa-apa. Karena malas itu sumber kegagalan. Orang yang malas
tidak akan mendapatkan kebaikan dan kemuliaan. Orang yang malas tidak akan
bernasib baik dalam agama dan dunianya.
Dan ketika dia semangat, tetapi bukan pada
hal-hal yang bermanfaat, seperti bersemangat pada sesuatu yang membahayakan dan
menghilangkan kebaikan, maka ujung dari kesemangatannya itu adalah kegagalan,
kehilangan kebaikan, mendapatkan keburukan dan kerugian. Berapa banyak orang
yang bersemangat untuk meraih dan menempuh cara-cara dan hal-hal yang tidak
bermanfaat, akhirnya ia tidak mendapat faedah apapun dari kesemangatannya itu
selain hanya rasa lelah, payah dan susah.
Jika ada orang menempuh jalan-jalan yang
bermanfaat, bersemangat dan bersungguh-sungguh padanya, namun tidak disertai
dengan keseriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla ,
maka hasil yang akan dipetiknya tidak maksimal. Jadi benar-benar bersandar
kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon pertolongan kepada-Nya bertujuan agar
bisa mendapatkan perkara yang bermanfaat itu secara maksimal. Orang seperti ini
tidak hanya bertumpu pada dirinya, kedudukannya dan kekuatannya, tetapi ia
bertumpu sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Apabila
seorang hamba bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , menyerahkan urusan hanya
kepada Allâh, dan minta tolong hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh
akan memudahkan urusannya, memudahkan segala kesulitannya, menghilangkan
kesedihannya, memberikan hasil akhir yang baik dalam urusan agama dan dunianya.
Jika demikian keadaannya, berarti seseorang sangat dituntut untuk mengetahui
hal-hal bermanfaat yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan serius. Apa
saja hal-hal yang bermanfaat itu ? Hal-hal yang bermanfaat dalam agama kembali
kepada dua perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat danamal shalih.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
a. Pengertian
Etos Kerja
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu
akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi,
baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk
menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus
memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil
dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan
(hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari
kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad :
22)
1. Aspek
aspek pekerjaan dalam isla
a. Memenuhi
kebutuhan sendiri
b. Memenuhi
kebutuhan keluarga
c. Kepentingan
seluruh makhluk
d. Bekerja
sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
2. Ciri
ciri etos kerja dalam islam
a. Baik
dan bermanfaat
b. Kemantapan
atau perfecness
c. Kerja
keras, tekun dan kreatif
d. Berkompetisi dan Tolong-menolong
e. Objektif
(jujur)
f. Disiplin
atau konsekuen
g. Konsisten
dan istiqomah
h. Percara
diri dan kemandirian
i.
Efisien dan hemat
B. Larangan meminta minta
Di antara sifat buruk yang dijauhi oleh
syara’ adalah meminta-minta kepada manusia, yang dimaksud meminta-minta adalah
inisiatif seseorang untuk meminta-minta kepada orang lain harta dan segala
kebutuhannya pada mereka tanpa ada kebutuhan dan tuntutan yang mendesak, sebab
meminta-minta mengandung kehinaan kepada selain Allah Azza Wa Jalla.
Allah swt berfirman:
٢٧٣. لِلْفُقَرَاء
الَّذِينَ أُحصِرُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْباً فِي
الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم
بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ
فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
|
273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. |
C.
Mukmin Yang Kuat Lebih
Dicintai Allah
Mukmin yang kuat lebih baik
da lebih dicintai oleh Allah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ
خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ
خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا
تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ،
فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,
beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang
lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan
apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala
urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau
tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian,
tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan
Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya
akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar