BAB
II
REALISASI
IMAN DALAM
KEHIDUPAN
SOSIAL
A. CINTA SESAMA MUSLIM SEBAGIAN DARI
IMAN (LM. 4)
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ
حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .(رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى). البخاري:
لايمان . 7. مسلم : لايمان : 67 . احمد : ادب. النسائى : ادب.
1. Artinya
Musaddad telah menceritakan kepada
kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari
Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda “tidaklah termasuk
beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.”
(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan
Nasa’i)
2. Biografi periwayat (lihat halaman lampiran)
3. Penjelasan Singkat
Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi
dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu sifatnya abstrak, tapi amal
shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan tersebut.
Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Qura’n selalu menyandingkan
iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan
prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan itu, sehingga
Rasulullah saw. dalam sejumlah hadis selalu mengaitkan tingkat kesempurnaan
iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara prilaku yang dijadikan
Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauhmana
tingkat kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia.
Hadis di atas menegaskan bahwa di
antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya
seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk
di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang
ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan
musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis
di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Sifat seperti yang disebutkan
Rasullah dalam hadis tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar
dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadis tersebut dapat dipahami
secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri
terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang tidak sempurna tingkat
keimanannya. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang
terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya
dalam hal-hal tertentu.
Seorang mukmin yang baik ialah
apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang
sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat
kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin
dengan orang mukmin ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama
lain.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa
seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada
hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika
tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf
nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan.
Di sisi lain, hadis di atas
memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan.
Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah
satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di
atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu,
persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam
ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya
keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman
merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan
keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Dalam berbagai riwayat, Rasulullah
saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh orang yang
saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan kepada Allah. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي
الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي.(رواه مسلم)
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya
dari ‘Abdillah bin ‘Abd al-Rahman bin Ma’mar dari Abi al-Hubab Sa’id bin Yasar
dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “pada hari kiamat
Allah swt. akan berfirman: ‘dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena
kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan
kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa
cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah cinta yang dibangun atas dasar
keridhaan Allah swt. Orang yang membangun kecintaannya kepada sesamanya manusia
karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang
seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan
yang memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan
hidup untuk kebahagiaan bersama. Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan. Sikap seperti ini menyebabkan terjadinya keharmonisan
hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. (رواه البخاري ومسلم).
Artinya:
Khalad bin Yahya telah menceritakan
kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi
Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw.
telah bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya
bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R.
Bukhari dan Muslim.)
Tatanan masyarakat yang penuh cinta
kasih tidak hanya sebatas konsep dan motivasi dari Rasulullah saw., tapi beliau
sudah terlebih dahulu mempraktekkannya dalam masyarakat Madinah pada peristiwa
hijrah. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar persaudaraan agama,
sehingga jiwa mereka terpaut satu sama lain melebihi hubungan persaudaraan sedarah.
Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang
dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu
bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga, tetapi didasarkan pada
keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka memberikan apa saja yang
dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada
yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari
kaum Muhajirin.
Persaudaraan seperti itu
mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap
menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang
mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik
seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali
Imran (3): 92:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym
(#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/
ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ (ال عمران : ٩۲)
Terjemahnya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang
hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki semangat ihsan terhadap
sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak sempurna
keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya
kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan
melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus
dibarengi dengan hablum minan nas yang baik.
Perlu diingat kembali bahwa perintah
untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semanga ketaatan
kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga
mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk
dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat
baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang
tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti
itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
4. Fiqh al-Hadis
Salah satu tanda kesempurnaan iman
seorang mukmin adalah mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Hal itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha
untuk menolong dan merasakan kesusahan maupun kebahagiaan saudaranya seiman
yang didasarkan atas keimanan yang teguh kepada Allah SWT.
Dia tidak berpikir panjang untuk
menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang diperlukan saudaranya adalah benda
yang paling ia cintai. Sikap ini timbul karena ia merasakan adanya persamaan
antara dirinya dan saudaranya seiman.
B. CIRI SEORANG MUSLIM TIDAK
MENGGANGGU ORANG LAIN (AN: 3)
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ
قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ
وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ
عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ
عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
(رواه البخاري وأبوداودوالنسا ئى).
1. Artinya
Adam bin Abi Isa telah mengabarkan
kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari
‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari
‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “orang muslim
adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan
tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah
dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
- 2. Biografi Perawi (lihat lampiran)
- 3. Penjelasan Singkat
Hadis di atas tampak sangat singkat
tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan makna. Inti pesan dalam
hadis tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia (hablum
minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan
kepada Allah (hamblum minallah).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi
agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak
menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik
dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat
keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman
terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadis di atas tidaklah bertolak
belakang dengan hadis tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah
terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di atas lebih
berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya
memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di
samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa tercermin dalam segala
tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman seseorang belumlah
dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai
kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama
manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga
berdimensi insaniyah, meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada
Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada sesama manusia juga merupakan
bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan.
Menyakiti sesama manusia mempunyai
bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas hanya menyebutkan dua
anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik kepada
secara metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain
itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti
hati sesama manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang
sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman
atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha
agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik
seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan
lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan
lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain.
Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada
sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian,
bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. Salah
satu pepatah Arab menyatakan:
سَلاَمَةَ الإِنْسَانِ فيِ حِفْظِ
اللِّسَانِ
Artinya: “Keselamatan seseorang
terletak sejauhaman ia menjaga lisannya.”
Dengan demikian, seseorang harus
berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun.
Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman sesuai
dengasn kemampuan yang dimilikinya. Hal itu karena menjaga orang lain,
baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam Islam.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan
oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan menggugurkan nilai pahala sedekah
seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan berbagai bentuknya.
Sehubungan dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264:
$ygr’¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w
(#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur …
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima) . . .”
Setiap muslim hendaknya berhati-hati
dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala
bentuk perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan
dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS.
al-Isra (17): 36:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/
íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9’ré& tb%x.
çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ ( الإ سـراء : ۳٦ )
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sayyid Quthub dalam mengomentari
ayat di atas mengatakan bahwa meskipun ayat tersebut redaksinya sangat singkat,
namun mengandung metode ilmiah yang lebih unggul dari metode ilmiah yang
dikenal manusia saat ini. Keunggulan metode yang terkandung dalam ayat tersebut
karena dalam proses penelitian tidak hanya melibatkan indera dengan dan indera
penglihatan, tetapi lebih dari itu, melibatkan hati manusia dan kontrol Tuhan
dalam segala aktivitas penelitian.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam
proses pengambilan kesimpulan terhadap semua berita dan fenomena, agar
senantiasa berhati-hati dan teliti. Ketergesa-gesaan dalam mengambil kesimpulan
tidak jarang mengakibatkan seseorang menyesal seumur hidup dan bahkan bisa
menjadi pintu kebinasaan. Jika segala langkah dalam proses pengambilan
kesimpulan didasari dengan kehati-hatian, maka kemungkinan untuk terjerumus
dalam kesalahan sangat kecil, kalaupun terjadi kekeliruan maka akibatnya tidak
terlalu besar.
Oleh sebab itu, dalam berbicara
harus senantiasa penuh pertimbangan, sebab sejumlah hadis Rasulullah saw.
mensinyalir bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang sangat potensial
memasukkan orang ke dalam neraka. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda:
دثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا
عبد الله بن إدريس حدثني أبي عن جدي عَن أَبي هُرَيرَة َ قَالَ: سُئِلَ رَسولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ
النَّاسَ الجَّنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ وَسُئِلَ
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسُ النَّارَ فَقاَل َالفَمُ
وَاْلفَرَجُ (رواه الترموذي)
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata:
Rasulullah saw. dintanya tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk
surga, lalu Nabi menjawab: ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik.
Selanjutnya beliau ditanya tentang hal yang banyak mengakibatkan masuk neraka,
beliau menjawab: lidah dan kemaluan. (HR. Turmudzi)
Pesan Kedua yang terkandung dalam hadis di atas adalah melakukan
aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah swt. Hadis tersebut menyebutkan
hijrah secara simbolik tetapi mengandung pengertian yang sangat luas. Secara
tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah
meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang
terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah
darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan
kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan
berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada
Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun
secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Hijrah juga dapat diartikan sebagai
perjalanan panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Dapat juga
diartikan sebagai perjalanan panjang untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk
menempuh suatu perjalanan diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam
Islam adalah akidah yang kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan mudah
tergelincir pada perbuatan yang menyimpang perintah-Nya. Jika tergelincir
kepada perbuatan yang salah, ia segera berhijrah dari perbuatan jelek tersebut
kepada perbuatan-perbuatan baik, sesuai perintah-Nya.
- 4. Fiqh al-Hadis
Di antara ciri kesempurnaan
keislaman seseorang adalah tidak menyakiti saudaranya seiman dalam berbagai
bentuknya, baik dengan kekerasan fisik maupun lisan. Selain itu, orang Islam
sejati ialah orang yang berusaha keras untuk berhijrah (pindah) dari
perbuatan-perbuatan yang dimurkai Allah kepada perbuatan-perbuatan yang
diridhai-Nya.
C. REALISASI IMAN DALAM MENGHADAPI
TAMU (AN: 47)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
(رواه البخارى).
Artinya
Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari
Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw.
telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R.
Syaikhani dan Ibnu Majah)
2. ُBiografi Perawi
Biografi Abu Hurairah telah dibahas
pada Bab 1
3. Penjelasan Singkat
Hadis di atas menyebutkan tiga di
antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan
seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri yang dimaksudkan
adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang baik atau
diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan perbuatan yang
bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi harus
diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis di atas hanya menyebutkan tiga
indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti
bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadis
tersebut.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman
yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak
memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga
orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik
dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa
ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek pelengkap keimanan
kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan
dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial.
Ciri orang beriman yang disebutkan
dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu
melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti
diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya,
seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
a. Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu
adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang
baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar
dari kemapuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan
tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut
termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ
الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ
تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ
قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ
وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ
عَلَيْهِ. (متفق عـليه)
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin
Abi Sa’id, dari Abi Syuraih al-‘Adawiy, berkata, Saya telah mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang
manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas
kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah
shadaqah.” (Mutafaq Alaih)
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan
rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya
tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib,
dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga.
Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang
hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang
diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka
dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai
dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga
mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu
juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik,
sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu
yang harus diperhatikan antara lain:
1) Masuk ke rumah
orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat
menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
2) Masuk ke dalam
rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja
disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
3) Ikut
berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan
itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
4) Duduk setelah
dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
5) Duduk dengan
sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud
meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya
bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan
kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan
bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti
disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya
terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam
merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
b. Memuliakan Tetangga
Istilah tetangga mempunyai
pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga
merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang pertama yang
mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai pertolongan
di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus
senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan
perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu
dengan yang lainnya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan,
memberikan pinjaman jika ia membuthkan, menengok jika ia sakit, melayat jika
ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus
senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang.
Dalam hadis sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw.
menggambarkan pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ
قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو
بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي
جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.
Artinya:
Isma’il bin Abi Uways telah
menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku,
dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan
kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat
Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku
menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak waris”.
Perintah berbuat baik kepada
tetangga juga disinyalir dalam berbagai ayat Alqur’an, antara lain firman Allah
dalam QS. An-Nisa (4): 36:
… ûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ)
ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï
4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2
Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
Terjemahnya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.
Di antara akhlak yang terpenting
kepada tetangga adalah:[1]
1) Menyampaikan
ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira
2) Menjenguknya
tatkala sakit
3) Berta’ziyah
ketika ada keluarganya yang meninggal
4) Menolongnya
ketika memohon pertolongan
5) Memberikan
nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf, dan lain-lain.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa
Islam merupakan agama yang sangat menghormati hak-hak tetangga dalam perspektif
Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, kehadiran Muhammad sebagai pembawa
ajaran Islam merupakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan
manusia atas manusia. Dalam Piagam Madinah dinyatakan sebagai berikut:
“(40) Segala tetangga yang
berdampingan rumah harus diperlakukan sebagai diri sendiri, tidak boleh
diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. (41) Tidak seorangpun
tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya, melainkan setiap
kunjungan harus dengan izin suaminya”.[2]
c. Berbicara Baik atau Diam
Berbicara merupakan perbuatan yang
paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun
buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang
sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk
mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan
jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan
mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang
menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia
akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan
bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata
baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan
terbaik.
Mengingat besarnya bahaya banyak
bicara, Rasulullah saw. mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal
ini Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَ نَسٍ قَالَ :قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م: اَلصُّمْتُ حِكْمَة ٌوَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ. (أخرجه البيهقى
بسند ضعيف وصحيح أنه موقوف من قول لقمان حكيم)
Artinya:
Dari Anas, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah saw., “diam itu suatu sikpa bijaksana, tetapi sedikit orang yang
melakukannya.” (H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul
bahwa hadis tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Orang yang menahan banyak berbicara
kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan,
daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas
dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh
Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali:
مَنْ وَقَى شَرَّ قَبْقَبِهِ
وَذَبْذَبهِ وَلَقْلَقِهِ فَقَدْ وَقَى الشَرَّ كُلُّهُ. (رواه أبو منصور الديلمى
عن أنس بسند ضعـيف)
Artinya:
“Barangsiapa yang menjaga perut,
farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan.” (H.R. Abu
Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad dha’if).
Ketiga hal yang disebutkan di atas
merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di
antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap
diam itu selamanya baik, sebab hadis di atas bukanlah memerintahkan untuk diam,
tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak
mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi
tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam
sebuah pepatah Arab dikatakan:
لِكُلِّ مَقَامٍ مَاقَالٌ وَلِكُلِّ
مَقَالٍ مَقَامٌ
Artinya:
“Tiap-tiap kondisi ada perkataan
yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Demikian pentingnya ucapan yang baik
sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga
daripada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan. Dalam QS. Al-Baqarah
(2): 163 Allah swt. berfirman:
×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ×öyz
`ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Kt ]r& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOÎ=ym ÇËÏÌÈ
Terjemahnya:
Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Ayat tersebut memberikan motivasi
untuk senantiasa berkata yang baik kepada orang lain, meskipun tidak mampu
memberikan sesuatu yang bersifat materil kepada mereka. Ayat itu pula menuntun
agar tidak menghardik orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada kita,
sebab tidak memenuhi permintaan mereka tetapi dengan kata-kata yang baik, akan
lebih menyenangkan hati mereka dari pada permintaannya dipenuhi tetap disertai
dengan caci maki.
5. Fiqh al-Hadis
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai
salah satu tanda keimanan kepada Allah swt. dan hari akhir, seorang mukmin
harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata yang baik atau memilih diam jika
tidak mampu mengucapkan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar