1.
HADIS PERTAMA TENTANG NIAT
عَنْ اَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ
عُمَرَبْنِ اْلخَطَابِ بْنِ نُفِيْلِ بْنِ
عَبْدِ اْلعُزى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحٍ بْنِ
كَعْبِ بْنِ لُؤَيِ بْنِ غَالِبِ اْلقُرَيْشِيِ اْلعَدَوِيِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَل اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ يَقُوْلُ اِنمَا
اْلَاعْمَلُ بِا النِيَاتِ وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَانَوَى وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلًى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يَصِيْبُهَا اَوِ امْرَاَةُ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَا جَرَ اِلَيْهِ
“Dari Amir al-Mukminin,Abu
Hafs Umar bin Khattab r.a bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin
Qurt bin Riyah bin Adi Ka’ab bin luay bin Ghalib al-Quraiys al-Adawi
berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya sahnya
amal itu tergantung dengan niat. Setiap orang akan memperoleh dari apa yang
diniatkannya. Jika seseorang itu hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut diterima oleh Allah dan
Rasul. Namun, jika hijrahnya itu untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita
yang akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut sesuai dengan apa yang
diniatkannya tersebut”(HR. Bukhari and Muslim)
Rasulullah saw
mengeluarkan hadis di atas (asbab al-wurud)- nya ialah untuk menjawab
pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya
Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah yang diikuti oleh sebagian besar pejabat.[1][1] Dalam hijrah itu ada
seorang laki-laki yang juga turut hijrah.
Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuagan Islam, melainkan
untuk hendak menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya
sudah bertekad untuk turrut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya
memilih tinggal di Makkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini di tempat tujuan
hijrahnya Rasullah yakni Madinah , sehingga laki-laki itu pun turut hijrah ke
Madinah.Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah saw, apakah hijrah
dengann motif itu diterima atau tidak, Rasulullah menjawab secara umum seperti
yang telah disebutkan pada hadis di atas.
Niat berperan penting
dalam ajaran Islam, khusunya dalam perbuatan yang berdasarkan perintah syara’
atau menurut sebagian Ulama merupakan sebuah perbuatan yang mengandung harapan
untuk mendapat pahala dari Allah SWT. Niat akan menentukan nilai, kualitas, serta
hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah
dengan niat ingin mendapatan keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang
wanita, ia tidak akan medapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya, jika
seseorang hijrah karena ingin mendapatkan
ridha dari Allah SWT, maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan duniapun
akan diraihnya. Sebenarnya, hijrah yang dimaksud pada hadis diatas adalah
berhijrah dari Makkah ke Madinah, karena pada saat itu penduduk Makkah tidak
merespon lagi dakwah Nabi, bahkan mereka ingin mencelakakan Nabi dan Umat
slam. Akan tetapi, setelah Islam jaya,
hijrah tersebut lebih tepat diartikan sebagai perpindahan dari kemungkaran atau
kebatilan kepada yang hak. Namun
demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala
atau tidaknya setiap hijrah, dalam berbagai bentuknya.
Para Ulama telah sepakat[2][2], bahwa niat itu sangat penting dalam
menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap
melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, puasa, zakat
maupun haji dan lain-lain, jika dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang
salah.
Setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan, jika niatnya baik (ikhlas) maka yang dia
terima adalah kebaikan dari Allah dan jika niatnya tidak baik, maka dia tidak
akan menerima kebaikan dari Allah.
Sebagaimana sabda
Rasulullah saw yang berbunyi:
وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Artinya:
“Dan tiap-tiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan”.
Suatu perbuatan yang
secara lahiriahnya baik, tetapi niatnya tidak baik maka dia tidak akan
mendapatkan kebaikan. Dan perbuatan dosa, walaupun niatnya baik, tetap
mendapatkan hukuman. Jadi, ganjaran dan pahala dari Allah itu hanya dapat
diperoleh oleh orang-orang yang berbuat kebajikan karena Allah dan Rasul-Nya
semata-mata. Perbuatan-perbuatan kebajikan tidak dipandang baik oleh Allah,
kalau tidak disertai dengan niat yang ikhlas.
Dan niat yang ikhlas itu adalah
ketetapan hati mencari keridhaan Allah dalam melakukan segala kebajikan.
Zu an-Nun al-Mishri menjelaskan bahwa ada tiga tanda-tanda ikhlas, yaitu:
ثَلَاثٌ مِنْ عَلَامَةِ
اْلاِخْلَاصُ اِسْتَوَا اْلمَدْحَ والذم من العامة ونسيان رؤية اْلعَمَلِ فِى
اْلاَعْمَالِ راقْتِضَاءُ ثَوَابِ اْلاَعْمَالِ فِى اْلاَخِرَةِ[3][3]
“Tanda ikhlas ada tiga:
pujian dan cercaan dari manusia sama saja baginya, melupakan amal yang telah
dilakukannya, dan hanya mengharapkan ganjaran amalnya di akhirat”.
2.
HADIS KEDUA TENTANG NIAT
عَنِ بْنِ عَباسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ اَنهُ قَالَ النبِي صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : اِن اللهَ كَتَبَ
اْلحَسَنَاتِ وَالسيئَاتِ ثُم بَيْنَ ذَالِكَ فَمَنْ هَم بِحَسَنَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ اِلَى سَبْعِمِا ئَةِ
ضِعْفٍ اِلَى اَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ وَمَنْ هَم بِسَيئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلُهَا
كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لًهُ سَيئَةً وَاحِدَةً[4][4]
Ibnu abbas r.a berkata,
Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah menulis segala kebajikan dan kejahatan. Kemudian
beliau menjelaskan masing-masing kebajikan dan kejahatan. “Maka siapa-siapa
yang berkeinginan melakukan sesuatu kebajikan, tetapi ia tidak melakukannya,
maka Allah menulis disisi-Nya suatu kebajikan yang sempurna untuknya. Tetapi
bila ia berkeinginan melakukan sesuatu kebajikan, lalu mengamalkannya, maka
Allah menulis disisi-Nya sepuluh sampai tujuhratus kali kebajikan untuknya, bahkan sampai
dilipatkan gandakan berkali-kali. Dan siapa-siapa yang berkeinginan melakukan
kejahatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya disisi-Nya
suatu kebajikan yang sempurna untuknya dan siapa-siapa yang berkeinginan untuk
melakukan kejahatan dan ia melakukannya, maka allah menulis satu kejahatan
untuknya”. (HR. Bukhari and Muslim).
Dalam sumber lain juga dikatakan hal yang sama mengenai
kedudukan niat tersebut, sebagai penguat atas dasar kebenaran hadis tersebut.[5][5]
Niat dalam arti
motivasi, juga sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah.
Shalat umpamanya, yang dianggap sah menurut pandangan syara’ karena memenui
berbagai syarat dan rukunnya, belum tentu diterima dan berpahala kalau yag
memotivasinya bukan karena Allah, tetapi karena manusia, seperti yang ingin
dikatakan rajin, tekun, baik dan sejenisnya.motivasi dalam melaksanakan setiap
amal harus betul-betul ikhlas, hanya mengharapakan ridha Allah saja.
B.
HADIS MENJAUHI PERBUATAN RIYA DAN SYIRIK KECIL
1.
HADIS TENTANG RIYA
عَنْ مَحْمُوْدِبْنِ
لُبَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْالَ للهِ
صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : اِن اَخْوَافَ مَااَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشرْكَ اْلاَصْغَرُ : اَلريَاءُ.[6][6]
Dari Muhammad bin Lubaid
dia berkat, “Rasulullah saw pernah bersabda, “ sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan terhadap kamu adalah syirik kecil, yakni riya”. (H.R Ahmad dengan sanad
hasan)
Hadis di atas mengandung
pengajaran bahwa:
a.
Rasulullah sangat mengkhawatirkan umatnya terjerumus kedalam dosa.
b.
Riya merupakan salah satu sifat syirik kepada Allah yang harus dijauhi oleh
orang-orang yang beriman. Sementara itu, keharaman syirik sudah sangat
jelas di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pertanyaan pertama yang
muncul dalam benak kita setelah membaca hadis diatas adalah kenapa riya itu
merupakan sebuah sifat syirik atau menyekutukan Allah. Riya ternyata
menjerumuskan kita kepada hal yang sangat dibenci oleh Allah. Bergantung kepada
selain Allah adalah sifat yang tidak baik bagi hati. Karena itu akan
menimbulkan anggapan bahwa ada sesuatu yang lain yang bisa memberikan kita
pahala, kebahagiaan maupun keselamatan selain dari Allah. Ketika seseorang itu berbuat bukan
dikarenakan Allah , maka dapat dikatakan dia sudah menyekutukan Tuhannya,
walaupun secara tidak langung ataupun spontan.
Selain menjurus kepad
perbuatan syirik, riya juga akan menjadikan segala kebajikan yang telah
dilakukan kemudian diiringi dengan hasrat riya, maka ia tidak akan mendapatkan
sedikitpun kebaikan atau balasan
dari Allah. Semuanya akan sia-sia tak
berfaedah sedikitpun, yang ia akan dapatkan hanyalah atas apa yang ia harapkan
dari keriyaannya itu.
Selain itu, riya selalu
menjuruskan seseorang ke dalam hal negatif yang lain, selain daripada sifat syirik
kepada Tuhannya yaitu sifat munafik. Karena, bagi orang yang munafik apa yang
diucapkan oleh lisannya dan dilakukan oleh ragawinya hanyalah berpura-pura
belaka, yaitu antara hati dan lisannya tidak sejalan. Mereka berniat melakukan
suatu amal ibadah agar mendapatkan pujian dari orang-orang di sekitarnya,
seperti tetangganya mungkin atau kerabatnya. Tetapi dia mengatakan bahwa dia
melakukan amal ibadah tersebut karena Allah
dengan penuh keikhlasan, padahal tidak demikian. Disinilah
ketidaksesuaian antara hati dengan perbuatan, sehingga ia termasuk ke dalam
golongan orang yang munafik. Orang yang munafik
itu ingin menipu Allah, dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya
dengan penampilannya tersebut. Tetapi Allah Mahatahu atas segala sesuatu.
Sesungguhnya riya itu
memiliki klasifikasi, namun klasifikasi yang paling parah adalah seseorang
melakukan ibadah hanya atas dasar riya semata-mata dan sedikitpun tidak
mengaharapkan ridha dari Allah. Dengan kata lain, ibadahnya bukan untuk Allah
melainkan untuk manusia, sementara yang teringan adalah riya tersebut
mendorongnya untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat oleh orang
lain dia tetap melakukan ibadah.
Namun,dia lebih merasa semangat kalau ibadahnya dilihat oleh manusia.[7][7]
2.
HADIS KEDUA TENTANG RIYA
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةُ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اَوَّلَ اَلنَّاسِ
يَقْضِيُ عَلًيْهِ يَوْمَالْقِيَامَةِ رَجُلٌ اِسْتَشْهَدَ فِى سَبِيْلِ اللهِ
فَاءَتَى بِهِ فَعَرَفَهُ نِعْمُهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟
قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اَشْهَدَ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ
لِيُقَالَ هًوَ جَرِى. وَ قَدْ قِيْلَ : ثًمَّ اَمَرَبِهِ فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ
حَتَّى اَلْقَى فِى النَّارِ. وَسَعَ اللهُ
وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْنَافِ اْلمَالِ فَاءَتَى بِهِ فَعَرَفَهُ نِعْمُهُ
فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ مِنْهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ
تُحِبُّ اَنْ يُنْفِقَ فِيْهَا اِلَّا اَنْفَقْتُ فِيْهَالَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ
وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيْقَالَ هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيْلَ ثُّمَّ اَمَرَ بِهِ
فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ حَتَّى اَلْقَى فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ
الْعِلْمَ وَعَلَّمُهُ اَوْ قَرَءَ اْلقُرْاَنَ فَاءَتَ بِهِ فَعَرَفَهُ نِعَمِهِ
فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ
وَعَلَّمْ تُهُ وَقَرَءْتُ فِيْكَ الْقُرْاَنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ
فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ عَالِمٌ اَوْ قَرَءْتَ لِيْقَالَ هُوَ قَارشئٌ، ثُمَّ
اَمَرَ بِهِ فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ حَتَّى اَلْقَى فِى النَّارِ.[8][8]
Artinya:
“Abu Hurairah r. a.
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya manusia yang pertama kali
diadili di hari kiamat adalah
orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, maka ia didatangkan dan
diperlihatkan nikmat-nikmat sebagai pahalanya, kemudian ia melihatnya seraya dikatakan kepadanya, “Amalan apa yang engkau lakukan
sehingga memperoleh nikmat-nikat itu? Ia menjawab, “Aku berperang karena-Mu (Ya
Allah)”. Allah menjawaab , “Dusta engkau,
sesungguhnya kamu berbuat demikian supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan
kmudian malaikat diperintahkan menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam
neraka; seorang yang diberi Allah harta benda, kemudian didatangkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikkmat sebagai pahalanya
lalu ia melihatnya seraya dikatakan kepadanya, “Amalan apakah yang engkau
lakukan sehingga engkau mendapatkan nikmat itu?”, ia menjawab, “Aku tidak
pernah meninggalkan infak di jalan yang Engkau ridhai YaAllah” melainkan aku
berinfak hanya karena-Mu.” Lalu Allah SWT menjawab, “Dusta Engkau, sesungguhnya
engkau melakukan demikian itu supaya
kamu dikatakkan sebagai orang yang dermawan.” Kemudian Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeret mukanya dan memasukkannya ke dalam neraka. Dan
seseorang lagi yang menuntut ilmu dan mengajarkan atau membaca Al-Qur’an, maka
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat sebagai pahalanya, lalu
ia melihatnya seraya dikatakan
kepadanya, “Amal apa yang telah engkau lakukan sehingga engakau medapatkan
nikmat-nikmat itu?” ia menjawab, “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya dan
memebaca Al-Qur’an hanya untuk-Mu ya Allah.” Kemudian Allah SWT menjawab,”Dusta
engkau, sesungguhnya engakau menuntut ilmu supaya engkau dikatakan pintar, dan
membaca Al-Qur’an supaya kamu dikatakan Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan
kepada malaikat untuk meyeret mukanya dan melemparnya ke dalam neraka.”
Penjelasan dari hadis diatas:
Hadis
diatas menjelaskan betapa pentingnya niat itu dalam melakukan segala hal
terutama dala konteks ibadah. Walaupun seseorang melakukan amal ibadah secara
terus menerus spenjang hidupnya, itu tidak akan ada artinya dimata Allah jika
masih diiringi sifat riya (yang ingin mendapatkan pujian, julukan sebagai orang
yang baik dan lainnya).
Hadis
diatas menggambarkan tentang orang yang melakukan amal kebaikan disertai dengan
rasa riya. Sehigga apa yang telah ia lakukan tiada berarti apa-apa karena sifat
riya tersebut. Misalnya saja seperti hadis diatas, kedudukan berperang di jalan
Allah adalah amal yang disukai Allah. Bahkan, orang yang mati syahid karena berperang
di jalan Allah di jamin oleh Allah masuk ke dalam surga-Nya. Namun demikian,
walaupun kita berperang di jalan Allah sampai mati itu bukanlah berarti menjamin kita masuk ke
dalam surga-Nya Allah, dikarenakan sifat riya. Yang dalam hal ini ingin mendapatkan
pujian dari orang lain atau supaya dianggap sebagai pahlawan.
Kesalahan hanya terdapat
pada niatnya saja, niat yang buruk akan mendapatkan ganjaran yang buruk pula.
Dan niat yang baik, akan mendapatkan kebaikan pula, bahkan kebaikan itu akan
dilipat gandakan.
Dalam melakukan kebajikan,
sifat riya adalah tantangan yang paling berat untuk dihindarkan oleh kebanyakan
manusia. Karena sangat sulit sekali menghindarkan dari pada hal itu. Terkadang
tanpa disadari riya sudah masuk ke dalam amal ibadah seseorang.
Kebanyakan orang memang
menganggap bahwa riya itu adalah masalah kecil, masalah yang tidak terlalu
penting, padahal dapat dari riya itu begitu besar sekali, sehingga riya dapat
mengantarkan seseorang itu ke dalam neraka. Seperti telah digambarkan jelas
dalam hadis tersebut.
Oleh karenanya, menjaga
sifat riya “menempel” dengan amal kebajikan harus kita dihindari. Agar tidak
terjadi kesia-siaan dalam amal ibadah kita. Apa gunanya melakukan amal ibadah
tetapi malah menjerumuskan kita ke jalan kehancuran. Kehati-hatian dalam
melakukan suatu amal kebaikan adalah hal yang harus kita lakukan, agar kita
terhindar dari malapetaka dan kesia-siaan.
Untuk menghindari diri
dari sifat riya tersebut adalah dengan senantiasa berifat ikhlas dalam
melakukan amal ibadah tersebut. Ihklas adalah ketetapan hati mencari keridhaan
Allah dan pahala dari-Nya dalam melakukan segala kebajikan.[9][9] Jika kita dalam melakukan
kebajikan dengan niat yang ikhlas, maka kita akan terbebas dari sifat riya.
AMAL ITU TERGANTUNG NIATNYA
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى ,
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا
يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه “- متفق عليه –
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.
Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman). (QS. Ar-Ra’d : 7)
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam
Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar